#iconfess Komitmen

Komitmen. Saya cukup was-was ketika mendengar satu kata ini. Bukan hanya menakutkan tetapi juga terdengar menyenangkan. Pernah kah kalian menjanjikan suatu hal ntah kepada diri sendiri atau kepada orang lain bahwa kalian akan tetap berkelakuan sama setiap harinya? Saya pernah kepada diri saya sendiri dan jujur saja saya gagal untuk menjaga janji itu. Sejak itu, saya tidak terlalu percaya dengan konsep "perjanjian" walau kadang saya perlu mendengar kata "janji" untuk memiliki sebuah keyakinan. Haha.

Selama berkuliah saya banyak belajar mengenai komitmen. Yang paling dasar adalah berkomitmen untuk tetap memiliki IPK di atas 3 dan tidak pernah mengulang mata kuliah. Beruntung betul diri saya, hal itu tercapai. Suatu kebanggaan bagi diri saya pribadi walau mungkin di mata orang lain, hal itu terlihat biasa saja. Tapi apa peduli saya? Toh saya waktu di awal kuliah membuat komitmen itu dengan diri saya sendiri.

Saya pun belajar berkomitmen di suatu organisasi selama sekitar 2 tahun. Wow, hal ini merupakan pencapaian yaaaaaaaaaaang sangat besar. Tidak pernah saya betah di "suatu tempat" tapi kali ini saya bisa merasa nyaman bahkan kelewat nyaman hingga akhirnya waktu lah yang memisahkan saya dengan organisasi tersebut. Awal saya masuk ke dalam organisasi tersebut karena saya pikir saya butuh ke luar dari zona nyaman saya (tidak kenal dengan siapa pun dan tidak mengetahui apa yang ada/akan terjadi di dalam organisasi tersebut), seiring dengan berjalannya hari saya malah berpikir bahwa inilah zona nyaman saya. Ohh sial, saya harus mencari zona nyaman baru.

Okay, alasan sejujurnya kenapa saya mengangkat tema komitmen di episode #iconfess kali ini adalah percakapan yang terjadi antara saya dengan Papa di setiap kali saya sedang di dalam perjalanan berdua dengan beliau. Memang mungkin sudah umur dan kebetulan juga saya memiliki pasangan dengan umur hubungan yang sudah bisa didaftarkan ke TK terdekat, beliau selalu mengungkit "gambar kehidupan ketika berumah tangga". Ah tidaaaaaaaak, saya merinding. Jujur saya tidak pernah siap mendengarnya karena bagi kalian yang mengenal saya, tahu kalau saya memang serius dengan hubungan ini tapi saya masih berpikiran untuk hidup tanpa ada ikatan pernikahan. Bukan karena belum menemukan pasangan yang pas, he's almost perfect and cukup masuk kategori calon suami yang baik, masalahnya saya belum menemukan esensi yang menarik dari pernikahan. Apa mungkin karena saya belum merasakannya? Hmm.. Tidak tahu juga.

Beberapa orang di umur saya, bahkan sebelum saya berumur 22 tahun, sudah ada yang memutuskan untuk mengikatkan diri dengan pasangannya ke dalam sebuah tali pernikahan. Saya kagum dan juga penasaran kira-kira apa yang menjadi lapisan dasar pemikiran mereka untuk memutuskan hal yang bagi saya besar tersebut? Terkadang ingin mengobrol dengan satu-dua pasangan muda dan mengulik kehidupan sebelum dan setelah mereka menikah. Pasti banyak hal menarik dan juga... Tidak dapat diduga oleh orang-orang seperti saya.

Gambaran pernikahan yang diberikan oleh Papa terlihat seperti keputusan-keputusan apa saja yang perlu dipikirkan ketika akan memulai berumah tangga. Beliau benar-benar selalu mengucap nama pasangan saya saat ini sehingga saya benar-benar kacau ketika menghayalkannya. Terbayang tidak terbayang, sih. Pada intinya, ada beberapa keputusan yang bagi saya cukup berat karena ketika beliau mengatakannya di dalam hati saya spontan menjawab, "anjir, gak akan."; "anjir, GAK MUNGKIN"; "GAK BISA GW GAK MAU GITU", daaaaaaaan lain sebagainya. Sedikit banyak keputusan yang beliau paparkan sering kali membuat saya berpikir kenapa bisa ada orang menikah hingga puluhan-ratusan tahun ya? Sebenarnya saya tahu kalau ketika menikah kita harus menurunkan ego masing-masing orang, berpikiran dengan tenang, dan mungkin berani mengalah. Hanya saja saya masih belum yakin bisa melakukan 3 hal dasar itu, mengingat saya masih sering bertengkar dengan pasangan ketika kemauan saya tidak terpenuhi. Haha.

Jujur saya belum mau menikah dan tidak tahu akan kah saya mau menikah. Saya takut sekali mengalami kegagalan. Saya takut karena tidak bisa berkomitmen atau menepati janji untuk menghabiskan hidup dengan satu orang. Saya rasa ini hal yang umum, benar atau tidak?

P.S: Dear my lovely boyfriend, if you're reading this, you know what does every single paragraph mean. Maybe, someday, in some universe, I'd love to be your wife <3 (ok sumpah mungkin bgt aku mau nikah sama kamu, jangan putusin aku ok)

Cheers,
MRS

Komentar

  1. hehe yes wajar kalo lu belom tau makna sesungguhnya dari pernikahan, seiring dengan proses dan perjalanan hidup lu, someday lu akan paham...yes memang bener saat lu menikah nanti udh bukan dua kepala lagi, tapi satu kepala, udh bukan dua hati lagi, tapi satu hati....terus akan begitu...untuk itu konteks mengalah atau menurunkan ego adalah salah satu cara untuk saling pengertian tentang maksud dari pasangan kita, dan itu bisa membuat kita membuka sudut pandang dan berpikir yang baru...bukankah akan menjadi indah dan bahagia apabila masing-masing pasangan bisa memahami maksud tujuannya tanpa harus mengomongkan hal itu? last but not least, jangan takut bergaul atau mengenal orang lain dari situ kita bisa belajar, dari pengalaman mereka kita bisa belajar bagaimana orang itu menyelesaikan masalah walau mungkin belom cocok kalo kita terapkan tapi setidaknya kita tau kisi-kisi cara menyelesaikan masalah dari tiap-tiap orang! semangat mut 🔥

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Holiday's Over

Alkohol Botol Biru